Karakteristik Superkonduktor
Sebuah material dapat dikenali berdasarkan tingkat konduktivitas listriknya atau resistivitasnya. Sejarah penemuan superkonduktor ini tercatat pertama kali pada tahun 1911 oleh fisikawan Belanda, Heike Kamerlingh Onnes dari Universitas Leiden. Terdapat empat klasifikasi material berdasarkan resistivitasnya, yakni: isolator (10^6 - 10^20 Ωm), semikonduktor (10^-4 - 10^6 Ωm), konduktor (10^-8 - 10^-4 Ωm), dan superkonduktor (dengan nilai resistivitas nol).1. Tanpa resistivitas (ρ = 0) pada T < Tc
Dalam kondisi suhu yang rendah, bahan superkonduktor menunjukkan resistivitas yang mengarah pada nol (ρ = 0). Ketika bahan tersebut didinginkan menggunakan nitrogen cair atau helium cair, resistivitasnya akan menurun seiring dengan penurunan suhu. Pada titik tertentu, resistivitas bahan secara tiba-tiba menurun hingga mencapai nilai nol. Titik suhu di mana terjadi penurunan drastis resistivitas bahan ini dikenal sebagai suhu kritis (Tc). Suhu ini menandai transisi dari keadaan normal material menjadi keadaan superkonduktor. Hubungan antara suhu dan resistivitas diperlihatkan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan antara suhu terhadap resistivitas listrik
Dari Gambar 1, pada temperatur T > Tc, bahan dianggap dalam kondisi normal, menunjukkan adanya resistivitas listrik pada bahan tersebut. Pada kondisi normal ini, bahan dapat berperan sebagai konduktor, penghantar yang kurang baik, atau isolator. Ketika suhu ≤ Tc, bahan berada dalam keadaan superkonduktor, yang menandakan penolakan terhadap medan yang diterimanya. Hal ini disebabkan oleh kesetaraan antara medan luar yang diberikan dan magnetisasi bahan, menyebabkan resistivitasnya secara tiba-tiba turun menjadi nol.
2. Medan magnetik superkonduktor nol (B = 0)
Sebuah materi diklasifikasikan sebagai karakteristik bahan superkonduktor ketika menunjukkan sifat diamagnetik, yang mengindikasikan bahwa medan magnet (B) menjadi nol ketika materi tersebut didinginkan di bawah suhu kritis (Tc) dan saat medan magnet yang diberikan tidak melebihi batas tertentu. Fenomena ini terjadi karena superkonduktor menolak aliran fluks magnetik yang mencoba memasuki bahan superkonduktor.3. Efek Meissner
Pada tahun 1933, Meissner dan Ochsenfeld melakukan pengamatan terhadap sifat kemagnetan superkonduktor. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa superkonduktor menunjukkan perilaku yang serupa dengan bahan diamagnetik yang sempurna, yang menolak medan magnet. Sebagai hasilnya, ketika sebuah magnet ditempatkan di atas bahan superkonduktor, magnet tersebut akan mengapung karena superkonduktor menghasilkan medan magnet dalam bahan yang berlawanan arah dengan medan magnet luar yang diterapkan. Fenomena ini dikenal sebagai efek Meissner. Jika bahan superkonduktor berada di atas suhu kritisnya (T > Tc) dan ditempatkan di dalam medan magnet, medan magnet akan menembus ke dalam bahan, mengakibatkan induksi magnet di dalamnya. Sebaliknya, jika bahan superkonduktor berada di bawah suhu kritisnya (T < Tc) dan terkena medan magnet, superkonduktor akan menolak medan magnet yang diberikan (Pikatan, 1989). Fenomena efek Meissner pada bahan superkonduktor diilustrasikan dalam Gambar 2 dan Gambar 3.Gambar 2. Efek Meissner
Gambar 3. Bahan superkonduktor dapat melayangkan magnet di atasnya
Pada tahun 1935, penelitian yang dilakukan oleh London bersaudara dalam bidang elektrodinamika superkonduktor menunjukkan bahwa intensitas medan magnet masih mampu menembus bahan superkonduktor, meskipun hanya sampai pada permukaannya saja, dengan jarak hanya beberapa ratus angstrom. Sifat penetrasi ini dijelaskan oleh parameter λ yang disebut kedalaman penetrasi London. Ternyata, medan magnet menurun secara eksponensial seiring dengan kedalaman penetrasi ini. Sebaliknya, nilai λ meningkat seiring dengan kenaikan suhu. Pada suhu kritis (T = Tc), nilai λ menjadi tak terhingga, sehingga medan magnet dapat menembus seluruh bagian bahan, mengakibatkan hilangnya sifat superkonduktor dan kembalinya ke dalam keadaan normal.
Teori London juga menyimpulkan bahwa dalam bahan superkonduktor, arus listrik akan mengalir hanya di permukaan bahan. Ini berbeda dengan konduktor biasa di mana arus listrik mengalir merata di seluruh bagian konduktor. Perbandingan sifat magnetik antara keadaan normal, superkonduktor tipe I, dan tipe II dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Perbandingan sifat magnetik pada keadaan normal superkonduktor: (a) tipe I dan (b) tipe II
Berdasarkan Gambar 4, superkonduktor tipe I memiliki satu nilai medan magnet kritis (Bc), sementara superkonduktor tipe II memiliki dua nilai medan magnet kritis (Bc1 dan Bc2). Superkonduktor tipe I memerlukan suhu yang sangat rendah untuk mencapai keadaan superkonduktivitas, dimana keadaan ini terjadi ketika medan magnet luar (H) kurang dari nilai kritis medan magnet (Bc). Sehingga, medan magnet luar akan sepenuhnya ditolak oleh material superkonduktor. Contoh dari superkonduktor tipe I meliputi Hg, Pb, dan La.
Di sisi lain, superkonduktor tipe II menunjukkan perilaku yang berbeda. Pada saat medan magnet luar (B) berada di bawah nilai kritis pertama (Bc1), material superkonduktor menampilkan sifat serupa dengan superkonduktor tipe I. Namun, pada rentang nilai antara Bc1 dan Bc2, medan magnet luar mampu menembus material superkonduktor. Pada kondisi ini, superkonduktor berada dalam keadaan campuran. Contoh dari superkonduktor tipe II meliputi V3Si dan Nb3Sn.
Sitasi Artikel
Thinks Physics. 2023.Karakteristik Bahan Superkonduktor.. Halaman Webiste (Copy halaman web). Diakses pada tanggal (tanggal akses anda)